Kamis, 12 Mei 2011

Meningkatnya Pasukan Ibu-Ibu Hadapi Pemberontakan Irak

RAMADI, IRAK (Berita SuaraMedia) – Pertumbuhan jumlah para istri pejabat Irak belajar menggunakan senjata untuk mengusir para pemberontak semakin meningkat. Mengenakan sebuah baju panjang berwarna biru dan jilbab putih, Umm Omar hampir tidak mengedipkan matanya ketika ia mencabut sebuah pistol di kebunnya. Baginya, pistol tersebut adalah sebuah kejahatan yang diperlukan untuk melindungi keluarga muda miliknya.
"Saya membenci suara tembakan pistol, namun teroris yang telah memaksa saya untuk belajar menangani sebuah senjata untuk melindungi anak-anak saya dan rumah saya," ibu 27 tahun dari tiga anak tersebut mengatakan hampir persoalan  secara fakta, sambil dengan tangkas menangani senjata.
Umm Omar tinggal bersama keluarganya di Ramadi, ibu kota provinsi barat, Anbar, salah satu daerah yang paling keras di Irak. Wanita tersebut berada di antara sebuah jumlah yang meningkat dari para ibu muda yang telah belajar untuk menggunakan sebuah senjata untuk mengusir para pemberontak yang menjadikan para keluarga pegawai negeri sipil dan personil keamanan sebagai target.
"Beberapa bulan yang lalu, sebuah kelompok pria bersenjata berusaha untuk merampok rumah kami," menurut sang suami Ahmed Karim, seorang sersan polisi yang pekerjaannya sering membuatnya jauh dari rumah selama berhari-hari pada rentang waktu tertentu.
"Saya pada waktu itu tidak berada di sana, namun istri saya berteriak mewaspadakan para tetangga," pria 32 tahun tersebut menambahkan, mencatat bahwa geng tersebut melarikan diri sebelum menyelesaikan misi mereka. "Setelah itu, saya memutuskan untuk mengajari istri saya bagaimana menggunakan sebuah pistol."
Mengikuti invasi yang dipimpin AS untuk mengusir Saddam Hussein pada tahun 2003, Anbar menjadi pusat dari sebuah pemberontakan yang kejam yang diakibatkan kependudukan AS.
Sekarang, tingkat kekerasan secara dramatis menurun di provinsi tersebut, di mana keamanan masih tetap berbahaya meskipun terdapat peningkatan keamanan mayor.
Banyak para istri dari pegawai negeri sipil, personil keamanan, memilih pejabat provinsi dan jurnalis mulai mempersenjatai diri mereka sendiri pada Juni 2009, ketika para pemberontak menyerang rumah tokoh penduduk terkemuka atau anggota dari satuan kepolisian.
Di provinsi yang sebagian besar merupakan padang pasir di mana dataran kering yang disela oleh padang rumput dan kebun buah-buahan di kedua tepi sungai Euphrates, dedaunan menyediakan kamuflase yang efektif untuk para penembak, yang senjata pilihannya adalah pistol dan senapan penyerang AK-47.
"Ketika para istri dari orang-orang yang bertanggung jawab untuk mempertahankan keamanan, kami harus melindungi keluarga kami ketika para suami kami melindungi negara," Ghada Ahmed, 24 tahun mengatakan.
"Ini merupakan mereka sendiri (para istri) yang melindungi rumah di malam hari ketika para suami sedang jauh dari rumah, atau ketika mereka kembali dalam keadaan lelah dari bekerja," ibu empat anak tersebut menambahkan, berpakaian dalam sebuah baju berwarna-warni dan jilbab berwarna merah jambu.
"Waktu itu adalah serangan-serangan berkelanjutan yang mendorong kita untuk bereaksi," ia mengatakan, merujuk pada 10.000 tentara dan para petugas polisi yang terbunuh sejak tahun 2003 oleh para pemberontak yang menganggap mereka "antek dari para penjajah Amerika."
Pada pertengahan Juni, seorang mantan anggota dari milisi anti-Qaeda dan lima anggota dari keluarganya terbunuh dalam sebuah serangan bersenjata malam hari di rumahnya dekat Fallujah, kota lain yang meresahkan di Anbar.
Secara paradoks, di daerah yang secara religius konservatif  di mana para wanita biasanya menjaga untuk tetap low profile, polisi dan ketua suku, begitu juga dengan para pejabat keagamaan, mengambil sebuah pandangan positif dari para wanita yang siap untuk mempertahankan diri mereka sendiri dan rumah mereka.
"Ini adalah sebuah evolusi terhadap kemodernan. Kami tidak memiliki keberatan apapun – cukup berkebalikan," memastikan Jenderal Bahaa al-Qaisi, ketua satuan kepolisian provinsi.
"Penting bahwa mereka (para wanita) membantu kami karena kami tidak memiliki petugas polisi yang cukup untuk melindungi setiap orang," ia menambahkan tentang sebuah provinsi di mana sebuah satuan polisi dari 24.000 orang harus menjaga hampir dua juta warga.
Bagi Adnan Khamis, seorang pemimpin dari klan al-Bualwan, keberanian para wanita membangkitkan ingatan dari masa lalu yang berjaya.
"Melihat para wanita mengangkat senjata adalah (sebuah tanda dari) kebangsawanan yang mulia," ia mengatakan, menambahkan bahwa "para wanita selalu ambil bagian dalam peperangan beriringan dengan para pria dan menyimpan tempat mereka dalam sejarah."
Bahkan para pemimpin keagamaan menyutujui hal tersebut.
"Bagi seorang wanita, belajar bagaimana menangani sebuah senjata untuk melindungi anak-anak dan rumahnya tertulis dalam hukum Islam dan disebutkan dalam kata-kata Nabi Muhammad," seorang imam dari Ramadi, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan. (ppt/meo) www.suaramedia.com

RAMADI, IRAK (Berita SuaraMedia) – Pertumbuhan jumlah para istri pejabat Irak belajar menggunakan senjata untuk mengusir para pemberontak semakin meningkat. Mengenakan sebuah baju panjang berwarna biru dan jilbab putih, Umm Omar hampir tidak mengedipkan matanya ketika ia mencabut sebuah pistol di kebunnya. Baginya, pistol tersebut adalah sebuah kejahatan yang diperlukan untuk melindungi keluarga muda miliknya.
"Saya membenci suara tembakan pistol, namun teroris yang telah memaksa saya untuk belajar menangani sebuah senjata untuk melindungi anak-anak saya dan rumah saya," ibu 27 tahun dari tiga anak tersebut mengatakan hampir persoalan  secara fakta, sambil dengan tangkas menangani senjata.
Umm Omar tinggal bersama keluarganya di Ramadi, ibu kota provinsi barat, Anbar, salah satu daerah yang paling keras di Irak. Wanita tersebut berada di antara sebuah jumlah yang meningkat dari para ibu muda yang telah belajar untuk menggunakan sebuah senjata untuk mengusir para pemberontak yang menjadikan para keluarga pegawai negeri sipil dan personil keamanan sebagai target.
"Beberapa bulan yang lalu, sebuah kelompok pria bersenjata berusaha untuk merampok rumah kami," menurut sang suami Ahmed Karim, seorang sersan polisi yang pekerjaannya sering membuatnya jauh dari rumah selama berhari-hari pada rentang waktu tertentu.
"Saya pada waktu itu tidak berada di sana, namun istri saya berteriak mewaspadakan para tetangga," pria 32 tahun tersebut menambahkan, mencatat bahwa geng tersebut melarikan diri sebelum menyelesaikan misi mereka. "Setelah itu, saya memutuskan untuk mengajari istri saya bagaimana menggunakan sebuah pistol."
Mengikuti invasi yang dipimpin AS untuk mengusir Saddam Hussein pada tahun 2003, Anbar menjadi pusat dari sebuah pemberontakan yang kejam yang diakibatkan kependudukan AS.
Sekarang, tingkat kekerasan secara dramatis menurun di provinsi tersebut, di mana keamanan masih tetap berbahaya meskipun terdapat peningkatan keamanan mayor.
Banyak para istri dari pegawai negeri sipil, personil keamanan, memilih pejabat provinsi dan jurnalis mulai mempersenjatai diri mereka sendiri pada Juni 2009, ketika para pemberontak menyerang rumah tokoh penduduk terkemuka atau anggota dari satuan kepolisian.
Di provinsi yang sebagian besar merupakan padang pasir di mana dataran kering yang disela oleh padang rumput dan kebun buah-buahan di kedua tepi sungai Euphrates, dedaunan menyediakan kamuflase yang efektif untuk para penembak, yang senjata pilihannya adalah pistol dan senapan penyerang AK-47.
"Ketika para istri dari orang-orang yang bertanggung jawab untuk mempertahankan keamanan, kami harus melindungi keluarga kami ketika para suami kami melindungi negara," Ghada Ahmed, 24 tahun mengatakan.
"Ini merupakan mereka sendiri (para istri) yang melindungi rumah di malam hari ketika para suami sedang jauh dari rumah, atau ketika mereka kembali dalam keadaan lelah dari bekerja," ibu empat anak tersebut menambahkan, berpakaian dalam sebuah baju berwarna-warni dan jilbab berwarna merah jambu.
"Waktu itu adalah serangan-serangan berkelanjutan yang mendorong kita untuk bereaksi," ia mengatakan, merujuk pada 10.000 tentara dan para petugas polisi yang terbunuh sejak tahun 2003 oleh para pemberontak yang menganggap mereka "antek dari para penjajah Amerika."
Pada pertengahan Juni, seorang mantan anggota dari milisi anti-Qaeda dan lima anggota dari keluarganya terbunuh dalam sebuah serangan bersenjata malam hari di rumahnya dekat Fallujah, kota lain yang meresahkan di Anbar.
Secara paradoks, di daerah yang secara religius konservatif  di mana para wanita biasanya menjaga untuk tetap low profile, polisi dan ketua suku, begitu juga dengan para pejabat keagamaan, mengambil sebuah pandangan positif dari para wanita yang siap untuk mempertahankan diri mereka sendiri dan rumah mereka.
"Ini adalah sebuah evolusi terhadap kemodernan. Kami tidak memiliki keberatan apapun – cukup berkebalikan," memastikan Jenderal Bahaa al-Qaisi, ketua satuan kepolisian provinsi.
"Penting bahwa mereka (para wanita) membantu kami karena kami tidak memiliki petugas polisi yang cukup untuk melindungi setiap orang," ia menambahkan tentang sebuah provinsi di mana sebuah satuan polisi dari 24.000 orang harus menjaga hampir dua juta warga.
Bagi Adnan Khamis, seorang pemimpin dari klan al-Bualwan, keberanian para wanita membangkitkan ingatan dari masa lalu yang berjaya.
"Melihat para wanita mengangkat senjata adalah (sebuah tanda dari) kebangsawanan yang mulia," ia mengatakan, menambahkan bahwa "para wanita selalu ambil bagian dalam peperangan beriringan dengan para pria dan menyimpan tempat mereka dalam sejarah."
Bahkan para pemimpin keagamaan menyutujui hal tersebut.
"Bagi seorang wanita, belajar bagaimana menangani sebuah senjata untuk melindungi anak-anak dan rumahnya tertulis dalam hukum Islam dan disebutkan dalam kata-kata Nabi Muhammad," seorang imam dari Ramadi, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan. (ppt/meo)

0 komentar:

Posting Komentar